Alkisah -- Ada seorang pemuda yang melakukan perjalanan jauh untuk
menuntut ilmu agama dan pemuda itu kehabisan bekal dalam perjalanannya. Ketika
matahari berada di atas ubun-ubun, tak disangka perutnya sudah mulai kukuruyuk.
Dalam keadaan lapar, pemuda itu berjalan menuju tepian sungai untuk berwudhu. Lalu, pemuda itu menunaikan sholat dzuhur di atas batu besar yang datar di tepian sungai.
Setelah selesai sholat, pemuda itu berteduh di bawah pohon rindang yang letaknya tak jauh dari tempat ia berwudhu. Ia menyenderkan tubuhnya pada batang pohon yang besar.
Terlintas doa dalam pikirannya, “Wahai Tuhanku, bagaimana aku menemukan makanan untuk mengganjal rasa lapar dalam perutku? Yaa Allah, tolonglah hamba-Mu ini. Amien yaa Rabbal alamin.”
Tak lama berselang, dilihatnya buah apel yang kanyut terbawa arus sungai. “Kebetulan ada buah apel. Perutku sangat lapar!” selorohnya. Buru-buru pemuda itu menceburkan dirinya ke sungai untuk mengambil buah apel tersebut.
“Dapat!”
Setelah mendapatkan buah apel itu, pemuda itu menepi ke pinggiran sungai. Tanpa berpikir lagi, pemuda itu langsung melahap buah apel yang didapatnya. Ketika buah apel habis dilahapnya, dia baru tersadar, “Astaghfirullah al `azhim!”
Dalam keadaan lapar, pemuda itu berjalan menuju tepian sungai untuk berwudhu. Lalu, pemuda itu menunaikan sholat dzuhur di atas batu besar yang datar di tepian sungai.
Setelah selesai sholat, pemuda itu berteduh di bawah pohon rindang yang letaknya tak jauh dari tempat ia berwudhu. Ia menyenderkan tubuhnya pada batang pohon yang besar.
Terlintas doa dalam pikirannya, “Wahai Tuhanku, bagaimana aku menemukan makanan untuk mengganjal rasa lapar dalam perutku? Yaa Allah, tolonglah hamba-Mu ini. Amien yaa Rabbal alamin.”
Tak lama berselang, dilihatnya buah apel yang kanyut terbawa arus sungai. “Kebetulan ada buah apel. Perutku sangat lapar!” selorohnya. Buru-buru pemuda itu menceburkan dirinya ke sungai untuk mengambil buah apel tersebut.
“Dapat!”
Setelah mendapatkan buah apel itu, pemuda itu menepi ke pinggiran sungai. Tanpa berpikir lagi, pemuda itu langsung melahap buah apel yang didapatnya. Ketika buah apel habis dilahapnya, dia baru tersadar, “Astaghfirullah al `azhim!”
“Jangan-jangan,
buah apel yang ku makan tadi ada pemiliknya. Aku sudah memakannya tanpa minta
izin dulu ke pemiliknya. Aku harus mencari dulu siapa pemilik dari buah apel
tadi."
"Aku harus minta ridhonya karena aku sudah memakan buah apel miliknya. Setelah itu, baru ku lanjutkan perjalanan ini. Semoga Allah memudahkan usahaku ini.”
Pemuda itu berjalan menyusuri sungai untuk mencari tahu pemilik buah apel itu. Saat senja tiba, tibalah pemuda itu di perkampungan yang berada dekat dengan aliran sungai. Pemuda itu pun langsung bertanya pada penduduk kampung tersebut, apakah ada diantara mereka yang kehilangan sebuah apel.
Berkali-kali pemuda itu bertanya ke penduduk yang dijumpainya, namun semua orang menjawab, “Tidak.”
"Aku harus minta ridhonya karena aku sudah memakan buah apel miliknya. Setelah itu, baru ku lanjutkan perjalanan ini. Semoga Allah memudahkan usahaku ini.”
Pemuda itu berjalan menyusuri sungai untuk mencari tahu pemilik buah apel itu. Saat senja tiba, tibalah pemuda itu di perkampungan yang berada dekat dengan aliran sungai. Pemuda itu pun langsung bertanya pada penduduk kampung tersebut, apakah ada diantara mereka yang kehilangan sebuah apel.
Berkali-kali pemuda itu bertanya ke penduduk yang dijumpainya, namun semua orang menjawab, “Tidak.”
Menjelang malam, setelah lelah berjalan menyusuri sungai, tibalah pemuda itu di rumah yang ada pohon apelnya, tepat berada di tepi sungai. Rumah itu ternyata milik seorang Bapak tua.
Tanpa sungkan, pemuda itu mendatangi rumah itu dan bertanya kepada pemilik rumah, “Assalammu`alaikum!” sapa pemuda itu.
“Wa `alaikumssalam, ada perlu ada anak muda?” balas Bapak tua pemilik rumah.
“Begini, maaf sebelumnya. Apa Bapak pemilik pohon apel yang ada di tepian sungai itu?” tanya pemuda itu sambil menunjukkan jari telunjuknya ke arah pohon apel yang letaknya persis di tepian sungai.
“Iya, betul. Memangnya ada apa, anak muda?”
“Begini, Pak!” Akhirnya, pemuda itu menceritakan kisah perjalanannya hingga ia sampai ke tepian sungai.
“Aku sangat lapar waktu itu, sehingga tak berpikir lagi bahwa buah apel itu pasti ada pemiliknya. Aku telah menyusuri tepian sungai ini sepanjang hari untuk mengetahui siapa pemilik buah apel yang telah ku makan. Aku mohon keridhoan dari Bapak agar buah apel yang telah ku makan menjadi halal.”
Bapak tua itu berpikir sejenak. Semenit kemudian, Bapak tua berkata, “Baiklah, anak muda. Aku akan ridhoi buah apel yang telah kau makan. Tapi, aku punya satu syarat yang harus anak muda penuhi agar makan itu menjadi halal bagimu.”
“Syarat!”
jawab pemuda itu, “Syarat apa itu, Pak?”
Bapak tua itu berkata, “Aku punya anak gadis yang bisu, tuli dan buta. Dia putriku satu-satunya."
"Jika anak muda ingin mendapat ridhoku atas buah apel yang telah anak muda makan, maka menikahlah dengan anak gadisku. Putri kesayanganku itu.”
Bapak tua itu berkata, “Aku punya anak gadis yang bisu, tuli dan buta. Dia putriku satu-satunya."
"Jika anak muda ingin mendapat ridhoku atas buah apel yang telah anak muda makan, maka menikahlah dengan anak gadisku. Putri kesayanganku itu.”
Bukan main terkejutnya pemuda itu. Tidak disangka-sangka, begitu berat syarat yang diajukan Bapak tua itu hanya untuk mendapatkan ridho dari buah apel yang telah dimakannya. Pemuda itu hanya tertunduk diam.
Dalam hatinya, pemuda itu berkata, “Tidak mungkin aku memasukan sesuatu yang haram ke dalam tubuhku karena hal itu dilarang oleh Allah SWT. Dan untuk menghalalkan buah apel yang telah makan siang tadi, aku harus mendapatkan ridho dari Bapak tua ini.”
“Jika tidak, aku telah melanggar ketetapan Tuhanku. Tapi, syarat yang Bapak tua ini ajukan sangat berat sekali. Menikahi gadis yang bisu, tuli dan buta. Astaghfirullah.”
“Yaa Allah, kuatkanlah niat hamba untuk tetap istiqomah dijalan-Mu. Yaa Allah, bantulah hamba untuk membuat keputusan yang tepat agar hamba tetap mendapatkan ridho-Mu.”
“Bismillahirohmanirohim. Baiklah, Pak. Karena aku tak berani melanggar sedikitpun larangan yang Allah tetapkan, dan untuk mendapatkan ridho Bapak atas buah apel yang telah aku makan maka aku menerima dengan ikhlas syarat yang diajukan.” ucap pemuda itu dengan mantap.
Bapak tua itupun tersenyum girang dan memeluk pemuda itu. Betapa bahagianya ia mendengar jawaban pemuda itu.
Pagi harinya, dilakukanlah akad nikah di rumah pengantin wanita. Bapak tua bertindak sebagai wali nikah. Pernikahan itu dilaksanakan tanpa dihadiri oleh pengantin wanita.
Saat malam
pertama tiba, pemuda itu hendak menemui istrinya yang baru saja dinikahinya, gadis
yang bisu, tuli dan buta. Pemuda itu mengetuk pintu kamar milik istrinya, “Assalamu`alaikum.”
ucapnya.
“Wa`alaikumsalam.”
terdengar suara merdu seorang gadis menjawab dari dalam kamar.
Pemuda itu terkejut mendengar jawaban salamnya. Ia pun bergegas meninggal kamar itu. Pemuda itu bertanya kepada Bapak mertuanya.
Pemuda itu terkejut mendengar jawaban salamnya. Ia pun bergegas meninggal kamar itu. Pemuda itu bertanya kepada Bapak mertuanya.
“Kamu tidak salah kamar, anakku. Masuklah ke dalam kamar istrimu itu. Tadi yang menjawab adalah istrimu sendiri. Masuklah!”
Setelah diyakinkan oleh Bapak mertuanya, pemuda itu kembali ke kamar wanita tadi yang ternyata kamar istrinya.
“Assalamu`alaikum.” ucapnya lagi.
“Wa`alaikumsalam.” terdengar lagi suara merdu seorang gadis dari dalam kamar.
Setelah mendengar suara jawaban salam dari dalam kamar, pemuda itu masuk ke dalam kamar. Untuk kesekian kalinya, pemuda itu terkejut. Dilihatnya seorang gadis yang cantik jelita, putih bersih, bermata jeli dan berpenampilan anggun, layaknya seorang bidadari surga, tersenyum manis menyambut kehadirannya.
Pemuda itu bukannya menghampiri istrinya, malah berbalik badan dan berlari keluar kamar. Ia mendatangi Bapak mertuanya dan bertanya, “Maaf, Pak. Kemarin malam, Bapak bilang anak gadis Bapak adalah gadis yang bisu, tuli dan buta. Tapi, kenapa gadis yang menjadi istriku, yang kutemui di dalam kamar adalah gadis yang cantik jelita? Dia tidak bisu? Dia tidak tuli? Dan dia tidak buta?”
Bapak tua itu
tersenyum mendengar ucapan menantunya itu. Lalu, ia berbicara, “Kau tidak salah,
anakku. Gadis yang ada di dalam kamar, yang cantik jelita, yang kau temui
adalah putri kesayanganku. Dialah istrimu.”
Bapak tua itu berhenti bicara sejak, lalu melanjutkan pembicaraannya. “Jika kemarin aku mengatakan padamu bahwa putriku adalah gadis yang bisu, tuli dan buta, itu memang benar."
"Putriku bisu karena lisannya tidak pernah berbicara satu kalimat pun kecuali ucapan yang baik."
"Putriku tuli karena pendengarannya tidak pernah sekalipun ia gunakan selain untuk mendengar yang baik."
"Putriku buta karena matanya tidak pernah digunakan untuk melihat sesuatu, kecuali ia memastikan bahwa yang akan dilihatnya adalah sesuatu yang baik.”
“Ketika aku
melihatmu datang hanya untuk meminta ridho karena tidak sengaja memakan buah
apel yang engkau temukan, aku berkesimpulan bahwa engkau adalah anak muda yang
soleh. Engkau mampu menjaga perutmu dari makanan yang meragukanmu."
"Sejak lama aku mencari pemuda yang soleh untuk menjadi pendamping putri tercintaku. Saat melihatmu, aku yakin engkaulah yang pantas mendampingi putriku. ”
"Sejak lama aku mencari pemuda yang soleh untuk menjadi pendamping putri tercintaku. Saat melihatmu, aku yakin engkaulah yang pantas mendampingi putriku. ”
Pemuda itu pun
bahagia sekali setelah mendengar penjelasan Bapak mertuanya. Sejak saat itu,
pemuda yang berakhlak mulia hidup bahagia bersama istri tercinta dan mereka
diberi karunia oleh Allah SWT dengan hadirnya anak-anak yang soleh.
Catatan:
Judul
aslinya adalah ‘Mulianya Wanita Tuli, Buta dan Bisu’ karya Aisyah Christy.
Lalu, penulis kembangkan lagi judul dan isinya sesuai dengan gaya penulis.
Referensi:
Aisyah Christy, “Ya Allah, Bimbing Hamba Menjadi Wanita Salehah”, PT Elex Media Komputindo Kompas - Gramedia, Jakarta.
Aisyah Christy, “Ya Allah, Bimbing Hamba Menjadi Wanita Salehah”, PT Elex Media Komputindo Kompas - Gramedia, Jakarta.