Alkisah -- Pada suatu hari, Sultan Ibrahim bin Adham pergi berburu ke hutan. Setelah berkeliling-keliling
mencari hewan buruan, sang Sultan merasa
lelah. Lalu ia berhenti di
suatu tempat peristirahatan.
Sang Sultan mengeluarkan bekal
makanannya dan segera menyantapnya. Saat sedang
menikmati bekal makanannya, tiba-tiba seekor gagak datang dan langsung
menyambar roti yang ada ditangan kanannya dengan paruhnya.
“Hey…”
Gagak itu
terbang kembali. Dengan perlakuan burung gagak yang aneh, sang Sultan heran dan berkata, “Apa mungkin burung
gagak makan roti?”
Celetuk sang Sultan. “Aaah, rasanya tidak mungkin! Aku harus cari tahu penyebabnya!”
Celetuk sang Sultan. “Aaah, rasanya tidak mungkin! Aku harus cari tahu penyebabnya!”
Sang Sultan langsung
pergi membuntuti burung gagak itu hingga burung gagak melintasi bukit. Lenyaplah ia
dari pandangan sang Sultan. Namun, sang Sultan
terus mendaki bukit dan mencari-carinya.
Usahanya tidak
sia-sia. Terlihatlah burung gagak itu dari kejauhan. Langkah sang Sultan pun
dipercepat sampai mendekati burung gagak itu.
Tatkala sang Sultan mendekati burung gagak itu, ia sangat kaget sekali karena ada seorang pria dengan tangan dan kaki terikat tak berdaya. Pria itu
tidur terlentang.
Melihat pria itu
terikat, sang Sultan turun dari kudanya dan langsung melepaskan ikatannya. Ia bertanya
tentang sabab-musababnya pria itu terikat.
“Kenapa kamu terikat
seperti ini ditengah hutan?”, tanya sang Sultan.
Pria itu menjawab,
“Aku adalah seorang pedagang yang bernasib malang. Aku dihadang para begal dan
semua harta daganganku dirampas. Mereka tidak membunuhku, hanya mengikatku dan
melemparkan aku ke tempat ini. ”
“Sudah tujuh hari aku
terikat ditempat ini. Dan setiap harinya, burung gagak itu datang kepadaku
membawakan roti.”
“Ia bertengger di
dadaku ini dan memotong-motong roti dengan paruhnya, dan langsung memasukkan
potongan roti itu ke mulutku. Selama tujuh hari ini, Allah SWT tidak membiarkan
hambanya ini dalam keadaan lapar.”
Akhirnya, sang Sultan
naik kuda lagi dan memboncengkan pria itu ke tempat peristirahatan semula.
Dengan adanya
peristiwa itu, tergugahlah hati sang Sultan untuk bertaubat kepada Allah SWT.
Ia melepaskan pakaian kebesarannya. Ia mulai dengan kehidupan sederhana. Ia
memakai pakaian sufi. Ia membebaskan seluruh budaknya. Ia mewakafkan seluruh
harta benda dan tanah miliknya.
Di akhirnya hidupnya, ia pergi
menuju kota Mekkah dengan bertongkat tanpa bekal dan tanpa kendaraan apapun. Ia melakukan semua ini dengan penuh tawakal kepada Allah SWT.
Sesampainya ia di
kota Mekkah, tiada merasa lapar bahkan ia bersyukur kepada Allah SWT atas
hidayah yang didapat.
***
Referensi: Abu H.F. Ramadlan BA, “Terjemah Duratun Nasihin”, Penerbit Mahkota, Surabaya.