Jumat, 11 Maret 2016

Burung Gagak Pembawa Roti

Alkisah -- Pada suatu hari, Sultan Ibrahim bin Adham pergi berburu ke hutan. Setelah berkeliling-keliling mencari hewan buruan, sang Sultan merasa lelah. Lalu ia berhenti di suatu tempat peristirahatan.

Sang Sultan mengeluarkan bekal makanannya dan segera menyantapnya. Saat sedang menikmati bekal makanannya, tiba-tiba seekor gagak datang dan langsung menyambar roti yang ada ditangan kanannya dengan paruhnya.

“Hey…”

Gagak itu terbang kembali. Dengan perlakuan burung gagak yang aneh, sang Sultan heran dan berkata, “Apa mungkin burung gagak makan roti?”

Celetuk sang Sultan. “Aaah, rasanya tidak mungkin! Aku harus cari tahu penyebabnya!”

Sang Sultan langsung pergi membuntuti burung gagak itu hingga burung gagak melintasi bukit. Lenyaplah ia dari pandangan sang Sultan. Namun, sang Sultan terus mendaki bukit dan mencari-carinya.

Usahanya tidak sia-sia. Terlihatlah burung gagak itu dari kejauhan. Langkah sang Sultan pun dipercepat sampai mendekati burung gagak itu.

Tatkala sang Sultan mendekati burung gagak itu, ia sangat kaget sekali karena ada seorang pria dengan tangan dan kaki terikat tak berdaya. Pria itu tidur terlentang.

Melihat pria itu terikat, sang Sultan turun dari kudanya dan langsung melepaskan ikatannya. Ia bertanya tentang sabab-musababnya pria itu terikat.

“Kenapa kamu terikat seperti ini ditengah hutan?”, tanya sang Sultan.

Pria itu menjawab, “Aku adalah seorang pedagang yang bernasib malang. Aku dihadang para begal dan semua harta daganganku dirampas. Mereka tidak membunuhku, hanya mengikatku dan melemparkan aku ke tempat ini.

“Sudah tujuh hari aku terikat ditempat ini. Dan setiap harinya, burung gagak itu datang kepadaku membawakan roti.”

“Ia bertengger di dadaku ini dan memotong-motong roti dengan paruhnya, dan langsung memasukkan potongan roti itu ke mulutku. Selama tujuh hari ini, Allah SWT tidak membiarkan hambanya ini dalam keadaan lapar.”

Akhirnya, sang Sultan naik kuda lagi dan memboncengkan pria itu ke tempat peristirahatan semula.

Dengan adanya peristiwa itu, tergugahlah hati sang Sultan untuk bertaubat kepada Allah SWT. Ia melepaskan pakaian kebesarannya. Ia mulai dengan kehidupan sederhana. Ia memakai pakaian sufi. Ia membebaskan seluruh budaknya. Ia mewakafkan seluruh harta benda dan tanah miliknya.

Di akhirnya hidupnya, ia pergi menuju kota Mekkah dengan bertongkat tanpa bekal dan tanpa kendaraan apapun. Ia melakukan semua ini dengan penuh tawakal kepada Allah SWT.

Sesampainya ia di kota Mekkah, tiada merasa lapar bahkan ia bersyukur kepada Allah SWT atas hidayah yang didapat.

***

Referensi: Abu H.F. Ramadlan BA, “Terjemah Duratun Nasihin”, Penerbit Mahkota, Surabaya.