Hikmah -- Di antara 3
makhluk ciptaan Tuhan, yaitu: malaikat, manusia dan hewan maka posisi manusia
berada di pertengahan antara malaikat dan hewan.
Maksudnya, ketika menciptakan malaikat,
Tuhan menganugrahinya akal pikiran sehingga malaikat menjadi makhluk yang taat
dalam beribadah kepada Tuhan.
Ketika menciptakan hewan, Tuhan
menganugrahinya nafsu syahwat sehingga hewan tidak pernah berpikir untuk
beribadah kepada Tuhannya. Siklus hidup hewan adalah berkembang biak dan selanjutnya mati/punah.
Ketika menciptakan manusia, Tuhan
menganugrahinya akal pikiran dan nafsu syahwat. Praktisnya, berkat akal pikiran
manusia mampu bertindak layaknya malaikat. Dan akibat menuruti nafsu syahwatnya,
manusia berwatak seperti tabiat hewan.
Lebih parah lagi, manusia akan lebih jahat daripada hewan,
manakala nafsu syahwatnya menguasai
akal pikirannya. Manusia tidak lagi berpikir halal atau haram. Manusia model
begini, akan makan apa saja yang diinginkannya, dan akan mengambil apa saja
yang diinginkannya. Tidak peduli dengan orang lain. Celakalah!
Allah SWT menegaskan dalam Al Qur`anul
karim:
Artinya:
“Sungguh, Kami jadikan untuk memenuhi
neraka jahanam kebanyakan dari bangsa jin dan umat manusia, mereka sekalipun
punya hati namun tidak digunakan untuk mempelajari (Al Qur`an), mereka punya
mata namun tidak dipakai untuk melihat bukti Kebesaran Tuhan, dan mereka punya
telinga namun tidak digunakan untuk mendengar (isi Al Qur`an). Mereka tidak
berbeda dengan hewan, bahkan lebih sesat lagi. Merekalah orang-orang yang
lengah.” (Q.S. Al A`raf,:179)
Menurut ayat diatas, Tuhan memberikan hati,
untuk mempelajari Al Qur`an dan maknanya, sehingga manusia bisa memilah dan
memilih mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah. Tujuannya, agar
manusia tidak salah jalan dalam hidupnya.
Tuhan memberikan kita mata, untuk melihat bukti Kebesaran-Nya, sehingga
keberadaan manusia tidak serta merta ada dengan sendirinya. Namun, ada yang
mencipta. Dengan begitu,
manusia dapat menyakini akan keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tuhan memberikan kita telinga, untuk mendengar hal-hal yang baik, seperti
mendengar orang yang membaca Al Qur`an, mendengar ceramah para alim ulama,
mendengar nasehat dari orang-orang bijak.
***
Referensi: Abu H.F.
Ramadlan BA, “Terjemah Duratun Nasihin”,
Penerbit Mahkota, Surabaya.